Rabu, 07 Januari 2015

Makalah “Pengaruh Media Animasi Komputer Terhadap Hasil Belajar Sains Anak Tunagrahita Ringan”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan ialah salah satu hal penting bagi manusia. Betuk pendidikan bisa secara akademik atau non akademik. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tercinta ini. Mulai dari Program Wajar (wajib belajar) Sembilan Tahun sampai Wajar Dua Belas Tahun. Pembagian beasiswa dalam dan luar negeri pun termasuk dalam salah satu program pemerintah. Adanya UU tentang pendidikan memberikan garis tebal bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. [1]
Sekolah negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa (SLB) menjadi tempat formal untuk mendapatkan pendidikan.Berbicara tentang SLB, tidak akan lepas dari keberadaan anak luar biasa (ABK).ABK ialah anak yang memiliki grafik perkembangan yang berbeda dari anak normal. Grafik tersebut bisa naik dan turun. Ada beberapa kategori ABK diantaranya Tunagrahita, Tunawicara, Tunarungu, Tunalaras, Tunanetra, Tunadaksa, Anak berkesulitan belajar, dan anak yang terlampau pintar. Sementara ini yang akan saya bahas ialah tentang anak tunagrahita ringan. Banyak yang berasumsi bahwa anak tunagrahita sama dengan anak idiot. Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat.
Pembelajaran adalah suatu aktivitas yang secara sengaja dilakukan untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran, kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Tugas guru bukan menyuapi anak dengan materi tetapi guru sebagai fasilitator, yang anatara lain tugasnya menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa giat belajar.
Salah satu mata pelajaran yang dikembangkan dalam kurikulum anak tunagrahita ringan jenjang pendidikan dasar adalah mata pelajaran sains. Sains merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib diberikan pada siswa tunagrahita ringan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Depdiknas (Nunik, 2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran sains bagi siswa tunagrahita ringan bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep sains, mempunyai sikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih menyadari kebesaran dan kekuasaan pencipta-nya.[2]
Salah satu pokok bahasan dalam mata pelajaran sains untuk siswa unagrahita ringan kelas D VI adalah pokok bahasan energi dan penguasaanya dalam kehidupan sehari-hari dan   kompetensi dasar yaitu siswa mampu mendeskripisikan penggunaan energi dalam kehidupan sehari-hari dan cara menghemat energi. Pokok bahasan ini diambil dengan pertimbangan bahwa pokok bahasan yang mengangkat tema tentang kehidupan manusia sehari-harinya yang tidak terlepas dari energi dan dapat mengungkap tentang kebesaran penciptaNya sesuai dengan tujuan pembelajaran sains bagi anak tunagrahita ringan.
Pokok bahasan tentang energi ini merupakan salah satu ruang lingkup baha kajian yang terdapat dalam kurikulum tinkgkat satuan pendidikan (KTSP) untuk anak tunagrahita ringan. Materi ini mulai dikembangankan dari kelas 2 SDLB tungrahita ringan. Hal ini menunjukan bahwa materi ini penting diberikan bagi ATG ringan dan harus dapat bermanfaat bagi kehidupannya dalam rangka peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kecakapan hidup. termasuk dalam kecakapan hidup adalah kecakapan sosial. Kecakapan sosial yang dimaksud adalah ketika ATG berada dilingkumngan rumah. Dalam kaitan pembelajaran tentang energi, salah satu kecakapan yang bisa diharapkan dimiliki ATG adalah kecakapan dalam mengindari bahaya.
Berdasarkan studi pendahuluan diketahui terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi ATG dalam pembelajaran sains salah satunya adalah rendahnya motivasi siswa dalam pembelajaran sains. Hal ini terlihat dari kurangnya minat dan perhatian siswa pada saat pembelajaran, media yang kuanng menarik menjadikan siswa cepat bosan dan jenuh ketika mendapaktkan pelajaran, dan kesulitan dalam memahami hal-hal yang bersifat abstrak.
Berbagai permasalahan tersebut sebenarnya dapat diatasi jika seorang guru mampu mendesain pembelajaran yang menarik dan menyenangkan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Misalnya, melalui pemilihan metode serta media-media pembelajaran yang tepat, menarik, dan menyenangkan. Pemilihan media oleh guru sangatlah penting. Seorang guru dapat mengunakan berbagai alternatif media pembelajaran yang diperkirakan dapat membantu siswa belajar. Salah satu media yang dapat diterapkan adalah media animasi komputer. Media animasi komputer merupakan salah satu media alaternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran hal ini berdasarkan anggapan bahwa aspek visual lebih bisa memberi informasi yang jelas dari sekedar kata-kata. Animasi komputer dapat membantu ATG ringan belajar sains pada tingkatan abstraksi yang berbeda karena gambar pada komputer berperan sebagai mediator antara masalah pada alam nyata dengan dunia abstrak pengetahuan sains.
Dunia PLB memanfaatkan perkembangan teknologi komputer untuk meningkatkan pembelajaran ATG. Media komputer pada perinsipnya dihadirkan untuk mempermudah proses belajar, sehingga penggunaan komputer yang sesuai akan memudahkan dalam penyampaian materi pelajaran yang disampaikan pada siswa.[3] Didalam mediasi animasi komputer selain ditonjolkan visualisasi gambar terdapat pula unsur imaginasi suara. Hal ini yang menjadi penguat bagi ATG dalam menerimainformasi mata pelajaran sains. Apa yang didengar dikuatkan oleh visual (penglihatan), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio (pendengaran). Hal ini akan memberi kesan yang lebih kuat kepada ATG sehingga mereka akan mampu mempertahankan respon dalam ingatannya. Media Gambar Animasi juga dapat disukai anak-anak begitupun ATG, sehingga diharapkan pembelajaran sains bagi mereka dapat lebih menyenangkan, dapat menghilangkan kejenuhan dalam proses pembelajaran, serta meningkatkan hasil belajar siswa, baik hasil belajar dalam aspek pengetahuan, pemahaman, maupun penerapan secara signifikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah masalah-masalah yang dihadapi anak tunagrahita ringan?
2.      Bagaimana pengaruh media animasi komputer terhadap hasil belajar anak tunagrahita ringan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Anak Tunagrahita
 Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah anak “bego”, atau kata yang lebih kasar lagi “anak gila”. Itulah sebutan atau predikat untuk anak tunagrahita. Bahkan ada yang mengatakan anak cacat (tuna) adalah sebagai kutukan, pembawa sial, karena perbuatan tidak senonoh orang tuanya. Sehingga setiap orang tua yang mempunyai anak cacat (tuna) merasa malu dan menyembunyikan anak tersebut. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa anak cacat adalah anak yang membawa hoki, membawa keberuntungan. Itulah kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama : lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi: fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Jadi anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan pendidikan khusus. [4]
"Anak tunagrahita ringan" Istilah yang umum dikenal untuk anak tunagrahita ringan adalah debil, di kalangan pendidik Amerika (America Education) ialah educable mentally retarded yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya mampu didik. Moh. Amin (1995;23), mengemukakan yang dimaksud anak tunagrahita ringan adalah:  mereka yang meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. IQ anak tunagrahita ringan berkisar 50-70.
Sutjihati  Sumantri (1996;86) mengemukakan bahwa: anak tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil, yakni mereka yang memiliki IQ 52-68 menurut Binet dan IQ 55-69 menurut scala  Wescheler (WISC). Mereka masih dapat diajar membaca, menulis dan berhitung sederhana, dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled dan tidak mampu menyesuaikan diri secara independen.Y.B. Suparlan (1983;30) mengemukakan secara lebih spesifik sebagai berikut: IQ penderita debil antara 50-70 biasanya mereka juga disebut educable children,  karena mereka tidak saja dapat dilatih tetapi juga dapat dididik.
Mereka dapat dilatih tentang tugas-tugas yang lebih tinggi (kompleks) dalam kehidupan sehari-hari, dapat pula dididik dalam bidang sosial dan intelektual. Pelajaran membaca, menulis dan berhitung dapat diajarkan menurut tingkat-tingkat tertentu. Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan masih memungkinkan memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menurut tingkatan–tingkatan tertentu.

·         Karakteristik Anak unagrahita ringan
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa anak tunagrahita ringan mempunyai ciri dan kekhasan masing-masing, tetapi secara garis besar mereka mempunyai karakteristik yang hampir sama. Moh. Amin (1991;37) memberikan karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita ringan sebagai berikut:[5]
o   karakteristik anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan katanya, mengalami kesukaran berfikir abstrak, tetapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Pada umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun, sebagian tidak dapat mencapai umur kecerdasan seperti itu.
o   Kecerdasan, Kapasitas belajar anak terbelakang sangat terbatas. Terlebih lagi kapasitas mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote learning) daripada dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya kesalahan-kesalahan yang sama. Perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia masih muda.
o   Sosial, Dalam pergaulan, mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin dirinya sendiri. Waktu masih muda harus senantiasa dibantu, setelah dewasa kepentingan ekonominya bergantung pada orang lain. Mereka mudah terperosok ke dalam tingkah laku yang tidak baik.
o   Fungsi-fungsi mental lain, Mereka mengalami kesukaran memusatkan perhatian. Minatnya sedikit dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat asosiasi-asosiasi, sukar membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dari berpikir.
o   Dorongan dan emosi, Anak yang sangat terbelakang hampir-hampir tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan dirinya. Kehidupan dan penghayatannya terbatas.
o   Kepribadian, Anak tunagrahita jarang yang mempunyai kepribadian yang dinamis, menawan, berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada umumnya mudah goyah. [6]
o   Organisme
Baik struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tunagrahita pada umumnya kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap. Mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan. Mengacu pada fungsi intelektual yang secara jelas berada di bawah rata-rata/normal, sehingga menyebabkan perkembangan kecerdasan dimiliki banyak hambatan, untuk itu diperlukan layanan khusus guna membantu mengoptimalkan kemampuan dan potensinya, hal ini terutama yang berkaitan dengan perawatan diri. Sehingga pada kehidupannya kelak dapat mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain.
Selanjutnya dalam The News Amerika Webster (1956;301) bahwa: “Moron (debile) is person whose mentality dopes not develop beyond the 12 years old level”. Yang terjemahannya adalah kecerdasan berfikir seorang anak tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan akademik  anak tunagrahita ringan setinggi-tingginya adalah setingkat dengan anak kelas VI SD umum.
·         Penyebab tunagrahita
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita. Para ahli dari berbagai ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab ini diantaranya adalah sebagai berikut:[7]
o   Faktor keturunan
Adanya kelainan kromosom baik autosom (mempunyai kromosom 3 ekor pada kromosom nomor 21 sehingga anak mengalami Langdon Down’s S yndrome dan pada trisomi kromosom nomor 15 anak akan menderita Patau’s Syndrome dengan cicri-ciri berkepala kecil, mata kecil, berkuping aneh, sumbing, dan kantung empedu yang besar . Adanya kegagalan meiosis sehingga menimbulkan duplikasi dan translokasi) maupun kelainan pada gonosom (gonosom yang seharusnya XY, karena kegagalan menjadi XXY atau XXXY. Ciri yang menonjol adalah nampak laki-laki dan tunagrahita. Setelah mencapai masa puber tubuhnya menjadi panjang, gayanya mirip wanita, berpayudara besar).
o   Ganguan metabolisme dan gizi
Metabolisme dan gizi merupakan hal yang penting bagi perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Beberapa kelainan yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan kekurangan gizi diantaranya adalah sebagai berikut:
o   Phenylketonuria
Salah satu akibat gangguan metabolisme asam amino juga kelainan gerakan enzym phenylalanine hydroxide. Gejala umum yang nampak adalah tunagrahita, kekurangan pigmen, microcephaly, serta kelainan tingkah laku.
o   Cretinisme
Disebabkan oleh keadaan hypohyroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau segera setelah melahirkan. Berat ringan kelainan tergantung pada tingkat kekurangan thyroxin. Gejala utama yang tampak adalah adanya ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan dan awal gejalanya dengan kurangnya nafsu makan, anak menjadi sangat pendiam, jarang tersenyum dan tidur yang berlebihan.
o   Infeksi dan keracunan
Adanya infeksi dan keracunan terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan ibunya yang menyebabkan anak lahir menjadi tunagrahita. [8]
o   Rubella
Penyakit ini menjangkiti ibu pada dua belas minggu pertama kehamilan. Selain tunagrahita, ketidaknormalan yang disebabkan penyakit ini adalah kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan yang sangat rendah pada waktu lahir dan lain-lain.
o   Syphilis, Kondisi bayi yang terkena Syphilis adalah kesulitan pendengaran, hidungnya tampak seperti hidung kuda.
o   Syndrome Gravidity Beracun, Ketunagrahitaan yang timbul dari Syndrome Gravidity Beracun terjadi pada sebagian bayi yang lahir prematur, kerusakan janin yang disebabkan oleh zat beracun, dan berkurangnya aliran darah pada rahim dan plasenta.
o   Trauma dan zat radioaktif, Trauma otak yang terjadi dikepala dapat menimbulkan pendarahan intracranial terjadinya kecacatan pada otak. Ini biasanya disebabkan karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu (tang). Selain itu penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microcephaly.
o   Masalah pada kelahiran, Adanya kelahiran yang disertai hypoxia (kejang dan nafas pendek) dipastikan bahwa bayi yang akan dilahirkan menderita kerusakan otak.
o   Faktor lingkungan, Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubngkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang-rangsang positif dalam masa perkembangan anak dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan atau hambatan dalam perkembangan anak. Kurangnya kontak pribadi dangan anak, misalnya dengan tidak mengajaknya berbicara, tersenyum, bermain yang mengakibatkan timbulnya sikap tegang, dingin dan menutup diri. Kondisi demikian akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak baik fisik maupun mental intelektualnya.
B.     Masalah - Masalah Yang Di Hadapi Anak Tunagrahita Ringan

Berkaitan karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki anak tunagrahita ringan tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan berbagai macam permasalahan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh anak tunagrahita ringan antara lain:[9]


1)      Masalah hambatan dalam belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.

2)      Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar.
Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek. Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat.

3)      Masalah penyesuaian diri
Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan di mana mereka berada.Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.


4)      Keganjilan tingkah laku
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memehami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita. [10]
5)      Masalah pemeliharaan diri
Pada umumnya anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri, mengetahui cara menghadapi dan menghindari bahaya yang dapat merugikan keselamatan diri. Walaupun begitu dengan bimbingan yang tepat, diharapkan anak  anak tunagrahita ringan masih mampu mandiri.
6)      Masalah pekerjaan
Anak tunagrahita walaupun dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled, tapi masih membutuhkan pengawasan, dan juga peluang kerja yang terbatas bagi mereka karena kurangnya penerimaan masyarakat, sehingga sedikit sekali yang sudah benar-benar mandiri. Untuk mengantisipasi hal ini perlu adanya kerjasama dari semua pihak sekolah hendaknya memberikan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pihak masyarakat diharapkan mau menerima tenaga kerjaanak tunagrahita.
7)      Masalah kepribadian
Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribandian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang dibentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut antara lain:

o   Isolasi dan penolakan
Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tungrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka menjadi tersingkir dari pergaulan sosial.
Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita ditolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribandian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.
o   Labeling dan stigma
Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma). Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam antara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.[11]
o   Stres keluarga
Para ilmuwan psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan stress dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti itu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.[12]
o   Frustasi dan kegagalan
Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.
o   Kesadaran rendah
Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif.  Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat.

8)      Masalah perkembangan bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah ganguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan. Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara.[13]
Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.
9)      Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami kesulitan apalagi yang termasuk kategori berat dan sangat berat; pemeliharaan kehidupan sehari-harinya sangat memerlukan bimbingan. Karena itulah sekolah diharapkan sekali dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam melatih dan membiasakan anak didik untuk merawat dirinya sendiri. Masalah-masalah yang sering ditemui diantaranya adalah; cara makan, menggosokkan gigi, memakai baju, memasang sepatu dan lain-lain.
10)  Masalah kesulitan belajar Dapat disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berpikir mereka, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka sudah tentu mengalami kesulitan belajar yang tentu pula kesulitan tersebut terutama dalam bidang pengajaran akademik, sedangkan untuk bidang studi, non akademik mereka tidak banyak mengalami kesulitan belajar. Masalah-masalah yang sering dirasakan dalam kaitannnya dengan proses belajar mengajar diantaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir abstrakyang terbatas, daya ingat yang lemah dan sebagainya.
11)  Masalah penyesuaian diri Masalah ini berkaitan dengan masalah-masalah atau kesulitan dalam hubungannya dengan kelompok maupun individu disekitarnya. Disadari bahwa kemampuan penyesesuaian diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan. Karena tingkat kecerdasan anak tunagrahita jelas-jelas berada di bawah garis rata-rata.

C.    Menentukan Media Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
Kemajuan teknologi modern tentang komputer merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembaharuan dalam dunia pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemerintah dan masyarakat umum telah memberikan perhatian yang mendalam tentang kemajuan teknologi modern ini. Teknologi dapat membantu mencapai sasaran dan tujuan pendidikan sehingga proses belajar mengajar akan lebih berkesan dan bermakna (Asra, 2009). [14]Teknologi informasi turut berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Perkembangan teknologi informasi meliputi perkembangan infrastruktur teknologi informasi, seperti hardware, software, teknologi penyimpanan data (storage), dan teknologi komunikasi (Laudon, 2006 dalam Noviari, 2009).
Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan komputer merupakan salah satu bagian dari teknologi informasi yang saat ini digunakan oleh para praktisi pendidikian dalam upaya menyajikan materi pelajaran.
Komputer sebagai penyedia informasi dirasakan perlu untuk digunakan karena dapat menyajikan informasi dengan baik (Sihombing, 2010). Media pembelajaran memberikan penekanan pada posisi media sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar untuk mengkondisikan seseorang untuk belajar. Dengan kata lain, pada saat kegiatan belajar berlangsung bahan belajar (learning matterial) yang diterima siswa diperoleh melalui media (Asra, 2009).
Media pengajaran yang sedang berkembang untuk saat ini yaitu multimedia. Penggunaan multimedia merupakan kombinasi dari grafik, teks, suara, video, dan animasi. Objek yang tidak dapat dilihat langsung, dapat digantikan dengan penggunaan multimedia yang berupa penayangan teks, grafik, suara, video, dan animasi. Multimedia mengandung unsur komputer. Multimedia memberikan kesempatan untuk belajar tidak hanya dari satu sumber belajar seperti guru, tetapi memberikan kesempatan kepada subjek mengembangkan kognitif dengan lebih baik, kreatif dan inovatif. Hal ini salah satunya karena informasi disajikan dalam dua atau lebih bentuk seperti dalam bentuk gambar dan kata-kata (Saguni, 2006).
Media pembelajaran dapat digunakan untuk meningkatkan pengalaman belajar ke arah yang lebih konkret. Multimedia sebagai gabungan berbagai jenis media mampu menciptakan suasana belajar yang begitu menarik dan menyenangkan sehingga akan memberikan motivasi belajar yang lebih tinggi dalam diri seswa. Multimedia memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar tidak hanya dari guru, tetapi memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kognitif dengan lebih baik, kreatif dan inofatif. Hal ini salah satunya karena informasi disajikan dalam dua atau lebih bentuk seperti gambar dan kata-kata (Puspita, 2008).
Media animasi yang merupakan kumpulan gambar yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan gerakan dan dilengkapi dengan audio sehingga berkesan hidup serta menyimpan pesan-pesan pembelajaran. Kehadiran media animasi dalam pembelajaran Biologi sangat mendukung proses penyampaian berbagai informasi dari guru ke siswa. Proses-proses biologi yang kompleks dapat dengan mudah dijelaskan kepada siswa, seperti proses fotosintesis, respirasi aerob, dan berbagai proses dalam sistem organ manusia.
Pada proses belajar mengajar, siswa sering dihadapkan pada materi yang abstrak dan diluar pengalaman sehari-hari sehingga matri pelajaran sulit diterima dan dipahami oleh siswa. Keistimewaan yang dimiliki oleh animasi intinya untuk memvisualisasikan konsep abstrak yang sulit dipraktekkan dikelas (Sihombing, 2010). Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pembelajaran, dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa sehingga dapat mendorong proses pembelajaran. Pembuatan media harus disesuaikan dengan kebutuhan anak dan sesuai dengan teknologi modern yang berkembang pada saat ini.[15]
            Media mempunyai fungsi yang sangat besar dalam kegiatan pembelajaran, dintaranya yaitu media pembelajaran sebagai perantara penyampai atau menyebarkan ide, gagasan, ataupun pendapat dalam belajar sehingga yang dikemukakan tersebut sampai pada penerima yang dituju yaitu anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam menentukan dan memilih media tidak boleh seenaknya saja, harus dengan adanya pertimbangan yang matang. Banyak hal yang harus dipertimbangkan yaitu, menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, disesuaikan dengan karakteristik siswa, dapat meningkatkan minat dan kemampuan siswa, memilih waktu yang tepat, ketersediaan bahan dalam pembuatan media dan mempunyai mutu tehnis yang baik.
Media pembelajaran memilki banyak jenis dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu guru perlu memahami karakteristik media itu agar dapat memilih media sesuai dengan tujuan pembelajaran. Model media pembelajaran berdasarkan karakteristiknya digolongkan menjadi dua bagian yaitu, Media dua dimensi dan media tiga dimensi. Media dua dimensi meliputi media grafis, media bentuk papan, dan media cetak.
Media pembelajaran merupakan suatu elemen penting yang tidak dapat terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan dan dapat lebih meningkatkan kualitas belajar siswa, kualitas mengajar guru, di samping itu dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran baik di sekolah umum maupun di SLB termasuk bagi anak-anak tunagrahita. Seperti dalam pembelajaran anak-anak pada umumnya , maka pembelajaran bagi anak tunagrahita pun, media pembelajaran dan Alat Bantu pelajaran memegang peranan penting , hal ini dikarenakan anak tunagrahita kurang mampu berfikir abstrak, seperti dikemukakan oleh Astati.[16]
 Alat Bantu pelajaran penting diperhatikan dalam mengajar anak tunagrahita. Hal ini disebabkan anak tunagrahita kurang mampu berfikir abstrak, mereka membtutuhkan hal-hal kongkrit. Agar terjadinya tanggapan tentang obyek yang dipelajari, maka dibutuhkan alat pelajaran yang memadai. Selanjutnya diterangkan tentang karakteristik alat Bantu pelajaran untuk anak tunagrahita antara lain: Warna. Tidak terlalu menyolok Garis dan bentuk tidak boleh abstrak Hal yang penting adalah dalam menciptakan atau memilih alat bantu atau media pembelajaran ini harus diingat tentang hal-hal yang perlu ditonjolkan atau yang akan menjadi pusat / pokok pembicaraan. Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan apabila dihadapkan dengan obyek yang kurang jelas tanpa tekanan tertentu. Jadi dalam memilih media pembelajaran bagi anak tunagrahita, harus benar-benar selektif dan mengarah pada hal yang abstrak.

D.    Pembelajaran Ketrampilan Pada Anak Tunagrahita Ringan
Anak tuna grahita adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus karena memiliki tingkat intelegensi yang cenderung rendah. Karena tingkat intelegensi yang rendah tersebut anak tuna grahita kurang mampu dalam pemenuhan kebutuhannya sendiri. Mereka memerlukan bantuan orang yang berada disekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Anak tuna grahita dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.      Anak tuna grahita ringan, yaitu anak tuna grahita yang mampu untuk diberikan pendidikan akademik seperti anak-anak normal tapi memerlukan modifikasi dalam pembelajarannya.
2.      Anak tuna grahita sedang, yaitu anak tuna grahita yang hanya mampu untuk dilatih ketrampilan dan bina diri. Mereka tidak mampu diberikan pendidikan akademik seperti anak-anak normal.
3.      Anak tuna grahita berat, yaitu anak tuna grahita yang hanya mampu untuk dirawat. Mereka selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam kesempatan ini kami hanya membahas tentang tugas guru dalam memberikan pembelajaran pada anak tuna grahita ringan tingkat satuan SMPLB. Tugas seorang guru bukan hanya mampu untuk memberikan pelajaran akademik pada anak didiknya melainkan juga mampu untuk memberikan pelajaran tambahan berupa pembelajaran ketrampilan.
Jadi seorang guru dituntut untuk kreatif dalam pemberian pembelajaran ketrampilan pada anak didiknya khususnya untuk guru anak berkebutuhan khusus. Seorang anak didik pastinya merasa bosan bila selalu diberikan pelajaran akademik pada setiap pertemuan.
Pendidikan bagi anak tunagrahita bertujuan mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikandiri dengan lingkungan di mana mereka berada. [17]
Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa anak-anak tunagrahita yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, pada umumnya belum menunjukkanperkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, anak yang telah mengikuti program pendidikan selama 12 tahun dan kembali kepada orang tuanya, ternyata masihbelum bisa mandiri, masih mengalami kesulitan dalam memelihara diri (self care), belum mempunyai keterampilan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari untukkepentingan dirinya dan ketergantungan kepada orang lain masih cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itusepertinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak.
Keadaan seperti itu, bukan semata-mata karena keterbelakangan mental yang dialami siswa, akan tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikandi sekolah luar biasa dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak tunagrahita memiliki keterampilanyang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikananak tunagrahita yang terjadi saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih bersifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar anak secara individual. Padahal esensi dari pendidikananak tunagrahita ialah bahwa pendidikan lebih bersifat individual karena perbedaan-perbedaan individu pada anak tunagrahita sangat mencolok (Suhaeri HN& Edi Purwanto, 1996).
Sehubungan dengan itu pengetahuan dan keterampilan para guru dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu terus ditingkatkan.  Jika melihat pendidikan tunagrahita di Amerika, seperti yang dilaporkan oleh Lewis, Bruininks, Thurlow dan McGrew (1988), yang meneliti dampak pendidikanyang diikuti anak tunagrahita terhadap kehidupan mereka setelah selesai mengikuti program pendidikan di Minnesota, menunjukkan bahwa 54% tunagrahita dapathidup mandiri. Indikator kemandirian yang digunakan dalam penelitian Lewis ini adalah pekerjaan dan penghasilan. [18]Rata-rata penghasilan yang dicapai olehtunagrahita dari pekerjaan itu sebesar 5,319 US dolar/ th.

E.     Rekayasa Lingkungan untuk Perkembangan Sosial Anak Tunagrahita (ATG)
Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula anak tunarungu, ia tidak terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi fisik, biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai pribadi yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian tersebut, anak tunarungu merasa benar-benar kurang berharga serta memberikan pengaruh yang benar-benar besar terhadap perkembangan fungsi sosialnya.[19]
Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris. Faktor sosial dan budaya meliputi pengertian yang sangat luas, yaitu lingkungan hidup di mana anak berinteraksi yaitu interaksi antara individu-individu, dengan kelompok, keluarga, dan masyarakat. Untuk kepentingan anak tunarungu, seluruh keluarga, guru, dan masyarakat sekitar hendaknya berusaha mempelajari dan memahami keadaan mereka karena hal tersebut dapat menghambat perkembangan kepribadian yang negatif pada diri anak tunarungu. Kita harus berhati-hati jika ada pendapat bahwa ketunarunguan mengakibatkan kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kalaupun terjadi, hal ini bukanlah sebagai akibat dari kelainan itu semata. Sebab, kelainan fisik hanyalah merupakan variabel dalam kelainan psikologis. Jadi, bukanlah reaksi langsung, melainkan hanya akibat reaksi anak dan lingkungannya tidak memahami keadaan yang ada.



F.     Perilaku Sosial Anak Tunagrahita Di Lingkungan Keluarga
Kebutuhan perasaan aman sangat erat hubungannya dengan kebutuhan akan afeksi (Sikap). Secara tidak langsung perasaan aman akan membentuk sikap anak. Dengan perasaan aman, anak akan memiliki pondasi yang kuat menghadapi konflik, frustasi, tuntutan dan kesulitan hidup. Banyak cara untuk memperoleh perasaan aman baik melalui kasih sayang anak akan bahagia. Kalau kebutuhan ini dihambat oleh penolakan, kebencian dan kurang perhatian anak akan merasa tidak aman, cemas dan mereka akan menunjukkan sikap yang agresif. Ini juga sering terjadi pada anak berkebutuhan khusus.
 Anak adalah karunia terbesar yang diberikan Tuhan Sang Maha Pencipta kepada kita umat manusia. Tuhan mempunyai rahasia tersendiri sehingga ada anak yang di lahirkan normal dan ada pula yang di lahirkan "istimewa" salah satunya adalah anak tunagrahita. Menghadapi kenyataan memiliki anak sebagai penyandang gangguan Intelegensi atau anak tunagrahita tidaklah mudah bagi orang tua, terutama jika dihadapi oleh orang tua yang kurang pemahamannya terhadap semua permasalahan ketunaan tersebut, baik itu tentang apa dan bagaimana ketunagrahitaan itu, serta penanganan yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan pada tugas perkembangan anak. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jawaban yang muncul berupa sederetan karakteristik atau gejala-gejala anak tunagrahita yang salah satunya yaitu gangguan perilaku sosial.

G.    Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita

Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umumnya dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri, 2007). Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.[20]
Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Pada kenyataanya, anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat. Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama dengan usia mentalnya (mental age).
Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi, 2005:23). Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, 6) bahasa tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.[21]
McLean dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan bahwa anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantic. Dalam hal semantic mereka cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara obyek dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas. Senada dengan hal di atas, Sutjihati (Sunardi dan Sunaryo, 2006) menjelaskan bahwa anak tunagrahita disamping dalam komunikasi sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka umumnya juga mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme, serta mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara.
Secara lebih teperinci Gauri (2007) memaparkan perkembangan bahasa pada anak tunagrahita. Dalam penjelasannya ini Gauri Pruthi menyajikan hasil penelitian perkembangan bahasa pada anak tunagrahita (Down syndrome).
a.      Perkembangan Prabahasa
Perkembangan ini dimulai dari bayi baru lahir. Jika dilihat dari masa ini maka antara bayi norma dan bayi Down syndrome hampir memiliki perkembangan yang sama (Gauri, 2007). Hanya saja bayi normal lebih aktif dan menunjukkan perilaku tangisan yang lebih keras/lepas.
Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.[22]
b.      Perkembangan Vokal
Hasil penelitian Oller dkk (Gauri, 2007) terhadap anak-anak Down syndrome usia 0 – 2 tahun menunjukkan bahwa perkembangan vocal (babbling) anak-anak ini tertinggal 2 bulan dibandingkan dengan anak normal. Anak Down syndrome usia ini juga tidak stabil dalam perkembangan babbling/merabannya atau cenderung kurang aktif melakukannya dibanding anak- anak normal. Lynch (Gauri, 2007) menyebutkan pula, “… selain persoalan tersebut mereka menunjukkan keterlambatan perkembangan motoriknya serta memiliki hipotonus”.
c.       Perkembangan Sosial dan Komunikasi
Bayi Down syndrome (0-18 bulan) memperlihatkan keterlambatan perkembangan kontak mata, begitu pula dalam perkembangan merabannya (Berger & Cunninghan dalam Gauri, 2007). Sejalan dengan itu Jasnow dan kawan-kawan (Gauri, 2007) menyatakan mereka juga kurang memiliki interaksi dengan ibunya. Pada usia satu tahun lebih mereka mulai lebih dominan menggunakan penglihatannya dibandingkan menggunakan anggota tubuh lainnya untuk mengeksplorasi lingkungan.
Bayi Down syndrome (18 bulan) juga menunjukkan ketertarikan dengan ibunya atau orang lain dengan kontak mata, namun mereka kesulitan berinteraksi dengan ibunya dan mainannya dalam waktu bersamaan. Komuniksi yang terjalin dengan ibu lebih banyak menggunakan kontak mata disbanding vokalisasi ucapannya. Perbedaan perkembangan pola interaksi semakin terlihat jelas ketika bayi Down syndrome memasuki usia dua tahun lebih. Perbedaan tersebut direfleksikan dalam bentuk bermain dan komunikasi.
Mundy dan kawan-kawan (Gauri, 2007) melakukan penelitian yang komprehensif tentang komunikasi social terhadap kelompok anak-anak Down syndrome usia 2-3 tahun.  Anak-anak tersebut dibandingkan dengan anak-anak normal dengan usia yang sama. Hasilnya anak-anak Down syndrome menunjukkan perilaku interaksi social yang lebih banyak dibandingkan dengan anak pada umumnya. Tapi anak Down syndrome lebih sedikit berkata-kata dan tidak mampu mengungkapkan apa yang dimintanya melalui ucapan dibanding dengan anak pada umumnya.
Anak-anak Down syndrome juga lebih focus kepada orang-orang disekitar dari pada objek bendanya ketika menginginkan sesuatu. Kondisi tersebut merefeksikan keterlabatan perkembangan bahasanya. Mereka lebih suka menarik tangan, menujuk, atau melakukan gesture tertentu kepada orang sekitar ketika menginginkan sesuatu dari pada meminta objek dengan ucapan. Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang. Anak-anak Down syndrome ini semakin bertambah usia maka ia semakin bertambah ramah (friendly) kepada orang-orang disekitarnya.[23]
d.      Perkembangan Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang lebih menekan pada perkembangan pemahaman makna kata dan makna kata dalam satu kelompok/kalimat. Perkembangan bahasa anak-anak normal mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat ketika mereka mulai berusia satu tahun. Perkembangan bahasanya terlihat pada perbendaharaaan kata yang dimilikinya. Semakin berkembang ketika usia 36 bulan, mereka menguasai lebih dari 500 kata dan mereka memahami kata-kata tersebut (Fenson, 1994 dalam Gauri, 2007).
Perkembangan perbendaharaan kata pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).
Penelitian terakhir tentang penggunaan kata benda (kaitannya dalam masalah semantic) pada anak Down syndrome ternyata mereka ini lebih menggunakan kata dasarnya atau pada tingkat dasar (misalnya mobil, kuda) tidak mencapai tingkat subordinatnya (contoh Mercedes, zebra) atau tingkat superordinat (misalnya, kendaraan, hewan). Semua objek dipilih karena kelompok dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan mobil sedan, truk, atau bis, semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak kesulitan jika harus melabel hingga subordinat dan superordinat. Begitu pula dengan kuda, maka anak tidak akan mempertimbangkan kuda zebra, kuda stallion dll. Mereka hanya akan melabel pada tingkat dasar, yaitu kuda.[24]
Penelitian lain yang mendukung Mervisn dan Bertrand (Gauri, 2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.
e.       Perkembangan Fonologis (Bunyi Bahasa)
Sejalan dengan peroleh makna kata , mereka juga belajar bagaimana mengartikulasikannya (mengucapkannya) sesuai dengan aturan bahasa yang berlaku. Hampir semua perkembangan fonologis semakin sempurna ketika anak-anak mulai masuk sekolah. Namun, mereka terkadang harus berhadapan dengan kesalahan-kesalahan pengucapan.
Anak-anak tunagrahita cenderung memperlihatkan adanya gangguan artikulasi. Anak-anak Down syndrome menunjukkan kesulitan pada aspek fonologis yang dapat berkaitan dengan keterlabatan perkembangan merabannya dan bisa juga diakibatkan keterlabatan perkembangan bahasanya secara umum. Penelitian Dodd (Gauri, 2007) membandingkan kesalahan fonologi pada anak-anak Down syndrome berat dengan anak tunagrahita ringan, dan anak-anak normal, mereka itu memiliki usia mental yang sama. Hasilnya, anak-anak Down syndrome lebih banyak memiliki kesalahan fonologis  dan memiliki berbagai variasi kesalahan yang sangat berbeda dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, serta anak-anak Down syndrome perkembangan fonologi jauh tertinggal secara signifikan dari level kognitifmya.
f.       Perkembangan Tata Bahasa Awal
Setelah kemampuan melabel/member nama suatu objek dikuasai, kemudian anak-anak biasanya mencoba mengkombinasikan kata-kata yang sudah dipahami dirangkai menjadi dua-tiga kata sehingga membentuk ucapan/perkataan sederhana yang juga disebut ucapan telegrafik. Secara beratahap kemampuan anak-anak dalam membuat kalimat semakin bertambah panjang, seiirng dengan bertambahnya pemahaman makna kata dan elemen-elemen gramatikal. pertumbuhan seperti itu dapat diukur dengan Mean Length Utterances (MLU) (Brown, 1973 dalam Gauri, 2007).[25]
Perkembangan tata bahasa awal juga ditemukan pada anak-anak tunagrahita. Tapi perkembangannya terlambat dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Berbegai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji masalah tersebut terhadap anak-anak Down syndrome. Hasilnya jika diukur dengan MLU maka pada mereka itu akan ditemukan penyebaran perubahan rata-ratanya sangat bervariasi.
Contoh, hasil penelitian terhadap anak perempuan Down syndrome yang belum menunjukkan kemampuan menyusun ucapan yang terdiri dari dua kata, sedangkan usianya 4 tahun. Namun rata-rata MLU nya sama dengan anak-anak normal ketika ia usia 5 tahun 6 bulan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ditemukan bahwa pada anak-anak Down syndrome mampu merangkai dua kata menjadi ungkapan yang bermakna terjadi pada usia enam tahun. Tentunya hal itu tertinngal banyak oleh anak-anak normal (Tager, 1990 dalam Gauri, 2007).

g.      Perkembangan Pragmatik
Selain, fonologi, kosa kata dan tata bahasa, anak-anak juga harus belajar menggunakan bahasa secara efektif sesuai dengan konteks sosialnya.  Dalam percakapan normal partisipan  harus saling berbagi giliran, berada ada dalam topic pembicaraan yang sama, pernyataan dari pesan yang disampaikan harus jelas dan sesuai aturan budayanya sehingga mendukung setiap individu dalam percakapan tersebut.[26]
Dalam penelitian terhadap perkembangan pada anak-anak normal yang menyelidiki beberapa aspek perkembangan pragmatic, di dalam tersusun atas perkembangan perilaku bicara, kompetensi percakapan, dan sensitifitas terhadap kebutuhan pendengar. Perkembangan perilaku bicara tersusun atas perilaku ketika meminta, perintah, mengeluh, menolak, interaksi, dll; kompetensi percakapan terdiri dari mampu mengelola topic percakapan dalam waktu yang lama, saling bergiliran bicara, dan mampu menambahkan informasi baru sesuai dengan topik yang sedang berlangsung; sensitive terhadap kebutuhan pendengar/lawan bicara dengan cara merespon dengan tepat terhadap apa yang diminta.
1)      Perkembangan Perilaku Bicara
Sangat kontras sekali anatar kemampuan sintaksis  dan kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome, setelah diukur melalui MLU, ternyata sama dengan anak-anak normal, yaitu berada pada rentang 1,7 hingga 2,0.  Namun secara fungsional tetap tertinggal dibandingkan dengan anak normal meskipun dengan usia mental yang sama. Dari aspek functional lainnya ketika meminta, anak-anak Down syndrome lebih banyak menggunakan satu kata. Begitu pula dengan yang lainnya.[27]
2)      Kompetensi Percakapan
Anak-anak pada umumnya mampu berbagi giliran untuk bercakap-cakap sebab mereka sejak awal perkembangan bahasa sudah memiliki pengalaman belajar berintekasi bahasa dengan ibunya. Berbeda dengan anak-anak Down syndrome mereka sedikit mengambil pengalaman berbahasa sejak awal sehingga kesulitan untuk kesulitan untuk berbagi giliran bicara, kesulitan melakukan percakapan sesuai topic, sering beralih topic pembicaraan bukan menambah informasi untuk memperkuat topic perbincangan.
3)      Sensitifitas Terhadap Kebutuhan Pendengar
Lawan bicara terkadang membutuhkan informasi tambahan, meminta pengulangan ucapan/pembicaraan, atau minta penjelasan. Jika itu bisa dipahami maka perbincangan akan semakin menarik. Hanya saja itu sulit bagi anak-anak Down syndrome. Mereka lebih focus pada perbincangannya sendiri. Namun demikian, penelitian pada anak-anak Down syndrome usia 10 tahun ke atas, mereka lebih mampu melakukan itu walau pun sebatas mengulang pembicaraan.
Berdasarkan perkembangan bahasa di atas maka kemampuan bahasa anak tunagrahita cukup rendah. Masalah kemampuan bahasa yang rendah pada anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada mereka seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari penggunaan bahasa yang kompleks (rumit). “Bahasa yang digunakan hendaknya berbentuk kalimat tunggal yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk mengkongkritkan konsep-konsep abstrak agar ia memahaminya.” (Rochyadi, 2005:24).

Perbedaan Tuna Grahita dan Autis
Hati-hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan intelegensia anak. Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap tunagrahita. Itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa jadi, anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar “Memahami dan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2). Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang.[28]
Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi. “Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah Mudjito.
Dalam seminar yang menampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ery Soekresno Psi (konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut, terungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.
Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan lingkungan sosial. Awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada “Autism Summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejala autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.[29]
Mengutip International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi buruk, perdarahan, dan keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
Tak pelak, prevalensi (peluang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada di kota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir tidak ditemukan,” papar Mudjito.
Ia menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang membuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis. Hanyalah satu dari delapan jenis kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras (bertingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak lainnya.[30]
Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya, pengadaan guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500 guru sekualifikasi itu yang terangkat. Padahal, secara nasional masih dibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullah nara) sumber: kompas.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan ialah salah satu hal penting bagi manusia. Betuk pendidikan bisa secara akademik atau non akademik. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tercinta ini. Mulai dari Program Wajar (wajib belajar) Sembilan Tahun sampai Wajar Dua Belas Tahun. Pembagian beasiswa dalam dan luar negeri pun termasuk dalam salah satu program pemerintah. Adanya UU tentang pendidikan memberikan garis tebal bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian.
Pembelajaran adalah suatu aktivitas yang secara sengaja dilakukan untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran, kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Tugas guru bukan menyuapi anak dengan materi tetapi guru sebagai fasilitator, yang anatara lain tugasnya menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa giat belajar.
Salah satu mata pelajaran yang dikembangkan dalam kurikulum anak tunagrahita ringan jenjang pendidikan dasar adalah mata pelajaran sains. Sains merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib diberikan pada siswa tunagrahita ringan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Depdiknas (Nunik, 2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran sains bagi siswa tunagrahita ringan bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep sains, mempunyai sikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih menyadari kebesaran dan kekuasaan pencipta-nya.





DAFTAR PUSTAKA

Ashman, Andrian & Elkins, John., “Educating Children With Special Needs” Australia: Sidney Printice, 1994.
Depdikbud., “Pendidikan Luar Biasa” Jakarta: Depdikbud, 1997.
Halahan, F. Kauffman, “Konsep Pendidikan Brorientasi Kecakapan Hidup/life skillss” Jakarta: Depdiknas, 2003.
Kirk, Samuel & Gallagher James “Education of Exceptional Children” Boston: Houghton Mifflin company, 1989.
Moh. Amin., “Ortopedagogi Anak Tunagrahita”, Jakarta: Debdikbud:1996.
Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita” Yogyakarta:FIP-Universitas Negeri, 2003.
Poloway, Edward A, Patton James “Strategies for Teaching Learners With Spesial Needs”, New York: Macmilln Publishing Company, 1993.
Cece Wijaya., “Pendidikan Anak Tunagrahita Ringan”. Bandung: PT. Remaja Rosdaka, 1996.
Indria Laksmi G., “Upaya Penanganan Anak dengan Ganguan Pemusatan Perhatian”, Yogyakarta: PT. Kencana, 1985.
Fallen, N.H. dan Umansky, W., “Young Children With Special Needs”, Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company, 1985.
Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, New York: John Wiley, 1978.
McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B., “Assesing Special Students”. Ohio: Merril Publishing Company, 1986.
Mulyono Abdurrahman., “Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar”, Jakarta: Dirjen Dikti PPPG 1996.
Natawidjaja, Rochman., “Penelitian Tindakan/Action Research”, Bandung: IKIP Bandung, 1997.
Natawidjaya dan Alimin., “Penelitian dalam Pendidikan Luar Biasa”, Jakarta: Depdikbud,1996.
Somantri, T. Sutjihati., “Psikologi Anak Luar Biasa”, Jakarta: Dirjen Dikti PTA, 1996
Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, Bandung:PPS IKIP Bandung, 1999.



PETA


[1] Ashman, Andrian & Elkins, John., “Educating Children With Special Needs” (Australia: Sidney Printice, 1994) h. 76
[2] Depdikbud., “Pendidikan Luar Biasa” (Jakarta: Depdikbud, 1997) h. 56

[3] Halahan, F. Kauffman, “Konsep Pendidikan Brorientasi Kecakapan Hidup/life skillss” (Jakarta: Depdiknas, 2003) h.85

[4] Kirk, Samuel & Gallagher James “Education of Exceptional Children” (Boston: Houghton Mifflin company, 1989) h.110

[5] Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, (Bandung:PPS IKIP Bandung, 1999) h. 80

[6] Somantri, T. Sutjihati., “Psikologi Anak Luar Biasa”, (Jakarta: Dirjen Dikti PTA, 1996) h.77

[7] Natawidjaja, Rochman., “Penelitian Tindakan/Action Research”, (Bandung: IKIP Bandung, 1997) h.44

[8] Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, (New York: John Wiley, 1978) h 112

[9]Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, h 118

[10]Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, h. 127


[11] Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, h. 112

[12] Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, h. 80

[13]Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, h. 89


[14] Poloway, Edward A, Patton James “Strategies for Teaching Learners With Spesial Needs” (New York: Macmilln Publishing Company, 1993) h.92

[15] Poloway, Edward A, Patton James “Strategies for Teaching Learners With Spesial Needs” h.102
[16] Moh. Amin., “Ortopedagogi Anak Tunagrahita” (Jakarta: Debdikbud:1996) h.49

[17] Halahan, F. Kauffman, “Konsep Pendidikan Brorientasi Kecakapan Hidup/life skillss” , h.85

[18] Halahan, F. Kauffman, “Konsep Pendidikan Brorientasi Kecakapan Hidup/life skillss”, h.94


[19] Mulyono Abdurrahman., “Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar”, (Jakarta: Dirjen Dikti PPPG 1996) h. 54

[20]Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita” (Yogyakarta:FIP-Universitas Negeri, 2003) h.65

[21]Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita”, h.69

[22] Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita”, h.97

[23]Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita”, h.143


[24] Kirk, Samuel & Gallagher James “Education of Exceptional Children” (Boston: Houghton Mifflin company, 1989) h.88
[25]Fallen, N.H. dan Umansky, W., “Young Children With Special Needs”, (Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company, 1985). H 90

[26] Fallen, N.H. dan Umansky, W., “Young Children With Special Needs”, (Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company, 1985). H 140

[27] Somantri, T. Sutjihati., “Psikologi Anak Luar Biasa”, (Jakarta: Dirjen Dikti PTA, 1996) h. 115

[28] McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B., “Assesing Special Students”. (Ohio: Merril Publishing Company, 1986) h. 33

[29] Natawidjaya dan Alimin., “Penelitian dalam Pendidikan Luar Biasa”, (Jakarta: Depdikbud, 1996) h.89

[30]Ingalls, Robert P.,  “Mental Retardation: The Changing Outlook”, h 112


EmoticonEmoticon